21Sep, 2014. Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam - Pada zaman Purba sistem kepercayaan dari zaman Megalitikum yang berdasarkan atas animisme, totemisme, dinamisme, dan manisme tetap berkembang meskipun datang pengaruh Hindu dan Buddha. Dengan masuknya agama Hindu dan Buddha terjadilah asimilasi kepercayaan asli Seorang penjahat di Aceh yang mendapat hukuman potong tangan dan kaki. Foto repro "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680" karya Anthony Reid. Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam. “Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis 6/4. Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales EHESS Paris, Prancis. Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus, Tapanuli Tengah. Claude Guillot, salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259. Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis. “Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang. Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang. Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan. Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci. Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya. [pages] Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut. Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan. “Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga qisas bunuh balas bunuh, uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang. Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut. “Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang. Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20. Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. “Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan. “Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu hukum Islam, red 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang. [pages] Teoriini menjelaskan bahwa kedatangan Islam ke Nusantara sekitar abad ke 13, melalui kontak para pedagang dan kerajaan Samudera Pasai yang menguasai selat Malaka pada saat itu. Teori ini juga diperkuat dengan penemuan makam Sultan Samudera Pasai, Malik As-Saleh pada tahun 1297 yang bercorak Gujarat. Jakarta - Kerajaan Islam di Indonesia sudah ada sejak abad 13 hingga 15 masehi. Munculnya kerajaan Islam dikarenakan baiknya hubungan perdagangan antara Indonesia dengan negara di Timur memiliki pengaruh di kehidupan masyarakat Indonesia, kebudayaan Islam kian berkembang sampai saat ini. Pengaruh dari kebudayaan Islam yang berdampak pada kehidupan masyarakat dapat terlihat dari peninggalan-peninggalannya. Berikut ini peninggalan-peninggalan kerajaan Islam di Kerajaan Samudra PasaiDilansir dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X KD dan oleh Kemendikbud, Kerajaan Samudra Pasai adalah kerajaan bercorak Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pantai utara Aceh, pada muara Sungai Psangan Pasai. Di muara tersebut terdapat dua kota, yaitu Samudra agak jauh dari laut dan Pasai yang merupakan kota di pesisir pantai. Peninggalan yang ditinggalkan dari Samudra Pasai ialah Cakra Donya Makam Sultan Malik Al-Shaleh Makam Sultan Muhammad Malik Al-Zahir Makan Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah Makam Teungku Peuet Ploh Peuet Makam Ratu Al-Aqla Nur Ilah Stempel Kerajaan Samudra Pasai Naskah Surat Sultan Zainal Abadin2. Kerajaan MalakaLetak kerajaan Malaka sangat strategis, yaitu berada di Semenanjung Malaya dan memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kehidupan pemerintahan, kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Raja pertama sekaligus pendiri kerajaan Malaka adalah Iskandar Kerajaan AcehKerajaan Aceh mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa kejayaan Aceh, perekonomian Aceh mengalami perkembangan pada pertanian yang menghasilkan budaya dari kerajaan Aceh adalah tertanda dari kemajuan bidang sosial-budayanya, yaitu tersusunnya suatu undang-undang tentang tata pemerintahan yang disebut dengan "Adat Makuta Alam". Kemudian, munculnya ulama besar yang bernama Nuruddin Ar Raniri yang merupakan pengarang buku sejarah Aceh dengan judul Bustanussalatin Taman Segala Raja menguraikan tentang adat istiadat masyarakat Aceh dan ajaran agama Kerajaan DemakKerajaan Demak berkembang dari sebuah daerah yang bernama Bintoro yang merupakan daerah bawahan dari Majapahit. Kehidupan budaya masyarakat Demak dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan kerajaan Demak. Masjid Agung Demak adalah karya besar para wali yang menggunakan gaya asli Indonesia yaitu atapnya bertingkat tiga dan memiliki peninggalan selanjutnya adalah pintu Bledek. Pintu Bledek adalah pintu yang dilengkapi dengan pahatan yang dibuat pada tahun 1466 oleh Ki Ageng Kerajaan Gowa TalloKerajaan Gowa dan Tallo merupakan dua kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan dan saling berhubungan baik. Kedua kerajaan tersebut lebih dikenal dengan kerajaan Makassar. Pada sebuah naskah lontar, kerajaan Makassar memiliki hukum perniagaan yang mengatur pelayaran dan perniagaannya yang disebut dengan "Ade Allopiloping Bicaranna Pabbalu'e" pada sebuah naskah lontar tentang hukum laut karya Amanna budaya lainnya yang sampai sekarang menjadi kebanggaan Indonesia adalah alat penangkap Ikan dan kapal Pinisi. Kemudian, di samping itu, masyarakat kerajaan Makassar juga mengembangkan seni sastra yaitu Kitab Kerajaan Ternate dan TidoreKerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah Pulau Halmahera maluku Utara. Tanah Maluku kerap disebut dengan "The Spicy Island" sebab kekayaannya akan kebudayaan dari Kerajaan Ternate dan Tidore adalah perahu Kerajaan PerlakDalam buku IPS Terpadu yang disusun oleh Nana Supriatna, Mamat Ruhimat dan Kosim, dijelaskan Kerajaan perlak terletak di Bukit Meuligou, Aceh. Sebelum menjadi sebuah kerajaan besar, negeri Perlak telah mempunyai pemerintah meskipun sangat sederhana dan telah memiliki raja yang bergelar sumber sejarah menyatakan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak. Hal ini didasarkan kitab Idharul Haqq karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy dan kitab Tazkirah Thabakat Jumu Sulthan As Salathin karangan Syekh Samsul Bahri Abdullah Al Asyi yang kemudian disalin kembali oleh Said Abdullah Ibn Saiyid Habib Saifuddin pada 1275 H atas suruhan Sultan Alaidin Mansyur naskah tua tersebut menyatakan bahwa di Aceh telah berdiri kerajaan Perlak yang sudah ada sejak abad ke-3 Hijriyah pertengahan abad ke-9 Masehi. Selain itu pula, dari catatan Saiyid Abdullah ibn Saiyid Habib Saifudin mengenai silsilah raja-raja Perlak dan Pasai. Simak Video "Megahnya Arsitrktur Istana Siak Bergaya Eropa dan Timur Tengah, Riau" [GambasVideo 20detik] lus/lus Pengislamancara begini jelas digambarkan oleh Marco Polo dalam laporannya tentang perkembangan Islam di Perlak. Beliau mengatakan pada sekitar tahun 1293 M itu kebanyakan penduduk kota Perlak telah Islam. Marco mengatakan pedagang-pedagang Islam telah berjaya memujuk penduduk tempatan Perlak untuk memeluk agama itu. - Islam diperkirakan mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 atau ke-8. Namun, Islam baru berkembang pesat di Indonesia pada abad ke-13. Agama Islam berkembang melalui kehadiran individu-individu muslim asing maupun penduduk pribumi yang telah memeluk saat itu, Islam tersebar luas hingga saat ini menjadi agama yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia. Masuknya agama Islam tidaklah bersamaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara. Langkah penyebaran Islam mulai dilakukan secara besar-besaran ketika muncul para fase itu, kerajaan-kerajaan Islam baru mulai berdiri di Nusantara. Baca juga Masuknya Islam ke Nusantara Kerajaan Islam di Indonesia Ketika pengaruh Islam mulai menguat, kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri di Nusantara hingga mampu menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang telah lebih dulu berkuasa. Berikut ini daftar nama kerajaan Islam di Indonesia. Nama kerajaan Pendiri Letak Tahun berkuasa Raja terkenal Kerajaan Perlak Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah Aceh Timur 840-1292 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin II Kerajaan Samudera Pasai Marah Silu atau Sultan Malik Al-Saleh Lhokseumawe, Aceh 1267-1517 Sultan Mahmud Malik Az Zahir Kerajaan Gowa-Tallo Tumanurung Bainea Sulawesi Selatan 1300-1960 Sultan Hasanuddin Kerajaan Kutai Kartanegara Aji Batara Agung Dewa Sakti Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 1300-1960 Sultan Muhammad Idris Kerajaan Bone Manurunge ri Matajang Sulawesi Selatan 1330-1905 Arung Palaka Kerajaan Malaka Parameswara Selat Malaka 1405-1511 Sultan Mansur Syah Kerajaan Cirebon Pangeran Cakrabuana Cirebon 1430-1677 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Kerajaan Demak Raden Patah Demak, Jawa Tengah 1478-1561 Sultan Trenggono Kerajaan Ternate Sultan Zainal Abidin Ternate 1486-1914 Sultan Baabullah Kerajaan Tidore Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin Tidore 1495-1967 Sultan Nuku Kerajaan Aceh Sultan Ali Mughayat Syah Banda Aceh 1496-1903 Sultan Iskandar Muda Kerajaan Selaparang Sayyid Zulqarnain Lombok 1500-an Prabu Rangkesari Kerajaan Banjar Raden Samudera atau Sultan Suriansyah Martapura, Kalimantan Selatan 1520-1905 Sultan Mustain Billah Kerajaan Banten Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Banten 1526-1813 Sultan Ageng Tirtayasa Kerajaan Pajang Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir Surakarta 1568-1587 Sultan Hadiwijaya Kerajaan Mataram Islam Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati Kotagede, Yogyakarta 1586-1755 Sultan Agung Kerajaan Bima La Kai Bima 1620-1958 Sultan Muhammad Salahuddin Kerajaan Deli Tuanku Panglima Gocah Pahlawan Tanah Deli 1632-1946 Sultan Ma'moen Al Rasyid Kerajaan Siak Sultan Abdul Jalil Riau 1723-1945 Raja Ismail Referensi Amarseto, Binuko. 2017. Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta Relasi Inti Media. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. WilayahKekuasaan. Sepanjang riwayat sejarahnya, baik ketika masih berwujud kerajaan Suku Dayak maupun kesultanan bercorak Islam, pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Daerah-daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Mempawah tersebut berada di wilayah Mempawah
- Kerajaan Aceh adalah kerajaan Islam di Sumatera yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 M. Ibu kota Kerajaan Aceh terletak di Kutaraja atau Banda Aceh sekarang. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M.Di bawah kekuasaannya, Aceh berhasil menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama dan melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka. Selain itu, kejayaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu di dekat jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Sejarah Kerajaan Aceh Berdirinya Kerajaan Aceh bermula ketika kekuatan Barat telah tiba di itu mendorong Sultan Ali Mughayat Syah untuk menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah payung Kerajaan Aceh. Untuk membangun kerajaan yang besar dan kokoh, Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kerajaan Aceh, yang isinya sebagai berikut. Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara Bersikap waspada terhadap negara Barat Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara Baca juga Kerajaan Mataram Islam Pendiri, Kehidupan Politik, dan Peninggalan Raja-raja Kerajaan Aceh Berikut ini 35 sultan dan sultanah yang berkuasa menjadi raja Kerajaan Aceh. Sultan Ali Mughayat Syah 1496-1528 M Sultan Salahudin 1528-1537 M Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar 1537-1568 M Sultan Husein Ali Riayat Syah 1568-1575 M Sultan Muda 1575 M Sultan Sri Alam 1575 - 1576 M Sultan Zain al-Abidin 1576-1577 M Sultan Ala al-Din Mansur Syah 1577-1589 M Sultan Buyong 1589-1596 M Sultan Ala al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil 1596-1604 M Sultan Ali Riayat Syah 1604-1607 M Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M Sultan Iskandar Thani 1636-1641 M Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam 1641-1675 M Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam 1675-1678 M Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah 1678-1688 M Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din 1688-1699 M Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din 1699-1702 M Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui 1702-1703 M Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir 1703-1726 M Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din 1726 M Sultan Syams al-Alam 1726-1727 M Sultan Ala al-Din Ahmad Syah 1727-1735 M Sultan Ala al-Din Johan Syah 1735-1760 M Sultan Mahmud Syah 1760-1781 M Sultan Badr al-Din 1781-1785 M Sultan Sulaiman Syah 1785-… Alauddin Muhammad Daud Syah Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam 1795-1815 M dan 1818-1824 M Sultan Syarif Saif al-Alam 1815-1818 M Sultan Muhammad Syah 1824-1838 M Sultan Sulaiman Syah 1838-1857 M Sultan Mansur Syah 1857-1870 M Sultan Mahmud Syah 1870-1874 M Sultan Muhammad Daud Syah 1874-1903 M Baca juga Kerajaan Samudera Pasai Sejarah, Masa Kejayaan, dan Peninggalan
kerajaanislam tidak menganut sistem kasta sehingga tidak ada perbedaan dalam pergaulan antara bangsawan dengan masyarakatnya. meskipun tidak ada perbedaan islam mengajarkan untuk saling mengormati antara raja dan rakyat dalam sistem pergantian raja pada kerajaan islam tidak menggunakan hak keturunan melaikan semua orang dapat menjadi raja jika - Antara abad ke-17 dan 18, VOC berhasil menguasai Batavia dan beberapa wilayah di Nusantara lainnya. Di luar daerah-daerah tersebut, kerajaan-kerajaan bercorak Islam masih berdiri sebagai kerajaan berdaulat dan memegang kendali atas pangkalan ataupun rute-rute perdagangan. Setelah terlibat persaingan dan perebutan kekuasaan, VOC akhirnya berhasil memaksakan perjanjian terhadap raja-raja di Nusantara agar dapat terlibat dalam urusan VOC terlibat dalam urusan internal kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah VOC ingin memecah belah kekuasaan kerajaan-kerajaan pribumi. Dengan begitu, ancaman dari kerajaan yang menjadi pesaing dan belum berhasil ditaklukkan dapat diminimalisasi. Berikut ini bentuk keterlibatan VOC dalam urusan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Intervensi VOC di Kerajaan Banten Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1682, yang juga sangat membenci VOC. Ketika Sultan Ageng Tirtayasa terlibat konflik dengan putranya, Sultan Haji, VOC menganggap hal itu sebagai kesempatan berharga. VOC segera mendekati Sultan Haji, yang dianggap mudah dipengaruhi, untuk melakukan politik adu domba. Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh ayahnya berupaya menyingkirkan dirinya dari takhta Kesultanan Banten. Sultan Haji kemudian bekerjasama dengan VOC untuk mengkudeta Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, VOC mengajukan beberapa syarat yang merugikan Banten. Tidak hanya itu, perjanjian yang diajukan VOC secara praktis membuat Kerajaan Banten tidak memiliki kedaulatan lagi. Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan harus mendapatkan persetujuan VOC. Baca juga Kerajaan Banten Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan Intervensi VOC di Kerajaan Mataram Dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai raja yang membawa kerajaannya mencapai puncak keemasan, tetapi juga sangat gigih melawan VOC. Keterlibatan VOC di Kerajaan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I 1645-1677, putra sekaligus pengganti Sultan Agung. Berbeda dari ayahnya, Amangkurat I memiliki sifat sangat kejam dan mau bersekutu dengan VOC. Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC, yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan VOC dan mengizinkannya untuk ikut campur urusan politik kerajaan. Pada masa pemerintahan Amangkurat II, VOC mulai melakukan pencaplokan wilayah, mengendalikan pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa, dan memonopoli ekspor beras Mataram. Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam intrik-intrik di kalangan keluarga kerajaan. Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram, yang kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro. Pada akhirnya, Kerajaan Mataram harus menandatangani Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang menyebabkan kerajaan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba atau devide et impera VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III. Baca juga Devide et Impera Asal-usul dan Upaya-upayanya di NusantaraIntervensi VOC di Gowa-Tallo dan Bone VOC tidak hanya memanfaatkan konflik internal kerajaan, tetapi juga perselisihan antarkerajaan, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone. Dalam konflik dua kerajaan tersebut, VOC kembali melakukan siasat politik adu domba hingga membuat Raja Bone, yakni Aru Palaka, mau bersekutu untuk melawan Gowa-Tallo. Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Gowa-Tallo, di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667. Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Gowa-Tallo dan dua hari setelahnya Sultan Hasanuddin turun takhta. Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, karena raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan. Tidak hanya itu, VOC akhirnya berhasil menguasai monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur. Intervensi VOC di Kerajaan Banjar Belanda sebenarnya telah berupaya memonopoli perdagangan di Banjar sejak awal abad ke-17, tetapi selalu diusir. Pada abad ke-18, VOC akhirnya berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Kerajaan Banjar. Kesempatan untuk melakukan intervensi semakin lebar, saat Pangeran Nata terlibat konflik dengan Pangeran Amir. Pangeran Amir kemudian meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, untuk menyerang Kerajaan Banjar dengan pasukan orang Bugis, sedangkan Pangeran Nata meminta bantuan VOC. Meski Sultan Nata berhasil memertahankan takhtanya, kesepakatan dengan VOC pada akhirnya merusak adat kerajaan. Selain itu, wilayah Kerajaan Banjar juga semakin sempit karena aneksasi yang dilakukan oleh VOC. Baca juga Isi Perjanjian Bongaya dan Latar Belakangnya Intervensi VOC di Ternate dan Tidore Kerajaan Ternate mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Baabullah meninggal pada 1583. Kehidupan politik Kerajaan Ternate pun semakin kacau saat VOC datang dan memenangkan persaingan melawan bangsa barat lainnya. Sejak saat itu, VOC memegang hak atas monopoli perdagangan dan mulai mendirikan benteng di Ternate. Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada di bawah kendali VOC. Hal sama juga terjadi di Kerajaan Tidore, setelah Sultan Nuku tutup usia pada 1805 M. Kondisi di Kerajaan Tidore yang terus mengalami konflik internal segera dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruhnya. Pada akhirnya, Kerajaan Tidore juga jatuh ke tangan Belanda. Intervensi VOC di Sumatera Di Pulau Sumatera, VOC dengan mudah menguasai kerajaan-kerajaan Islam, kecuali Kerajaan Aceh. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut jatuh ke tangan VOC setelah mengadakan kontrak yang merugikan bagi mereka. Sementara Kerajaan Aceh masih dapat menikmati kemerdekaannya sampai pertengahan abad ke-19, setelah VOC dibubarkan. Namun, setelah terlibat peperangan selama beberapa dekade, Kerajaan Aceh harus mengakui kekuatan Belanda. Referensi Amarseto, Binuko. 2017. Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta Relasi Inti Media. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto Eds. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta Balai Pustaka. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Periodedalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima periode, era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3 - Sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara memiliki dampak yang besar dalam berbagai sektor kehidupan. Pengaruh Islam di Nusantara atau yang kemudian menjadi negara bernama Indonesia juga merasuk dalam bidang politik dan ekonomi. Ada beberapa teori terkait masuknya Islam ke Nusantara. Dari berbagai teori tersebut, Islam diperkirakan masuk ke Nusantara melalui berbagai jalur, seperti perdagangan, pernikahan, atau migrasi. Sebelum ajaran Islam hadir, masyarakat Nusantara berada dalam peradaban Hindu-Buddha. Maka, ketika Islam masuk dan mulai menebarkan pengaruh, maka terjadi penyesuaian dalam berbagai aspek dari modul Sejarah Kerajaan-Kerajaan Maritim Indonesia pada Masa Islam 2020 yang diterbitkan Kemendikbud, masuknya Islam berdampak terhadap bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan juga Sejarah Proses Masuknya Islam ke Indonesia Berdasar Teori Gujarat Teori-Teori Masuknya Islam ke Indonesia Beserta Tokohnya Penjelasan 4 Teori Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia Pengaruh Islam di Nusantara dalam Bidang Politik 1. Konsep Raja Sebagai Utusan TuhanPada masa Hindu-Buddha, kerajaan menganut konsep dinasti, sebuah sistem pemerintahan berdasarkan garis keturunan. Raja memiliki kuasa agung yang kerap diasosiasikan dengan dewa, atau yang disebut dengan konsep Devaraja. Raja dalam konsep ini akan dianggap sebagai titisan dewa di biasanya dibuatkan candi, arca, atau prasasti lainnya yang menyerupai dewa. Contohnya adalah Raja Airlangga, pemimpin Kerajaan Kahuripan yang dicandikan serupa dengan Dewa juga Sejarah Candi Badut Peninggalan Kerajaan Kahuripan & Keunikannya Asal-usul Lambang Garuda dalam Sejarah Kerajaan Raja Airlangga Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga Masuknya Islam mengubah sistem Devaraja. Hal ini karena Tuhan dalam agama Islam tak dapat menyerupai ciptaan-Nya. Akan tetapi, Tuhan mengirimkan khalifah pemimpin di bumi yang bertanggung jawab terhadap keselarasan dan keteraturan dunia. Oleh karena itu, konsep Devaraja pada masa Hindu-Buddha berganti menjadi raja atau pemimpin sebagai khalifah wakil Tuhan sebagai pemimpin di bumi. 2. Penyebarluasan Islam oleh RajaPara ulama yang menyebarkan syiar Islam di Nusantara pada masa awal memiliki strategi jitu dalam menjalankan dakwahnya. Pertama-tama, mereka akan terlebih dahulu melakukan pendekatan secara politis terhadap raja-raja di Nusantara agar memeluk Islam. Dalam modul Islam Nusantara yang diterbitkan Kemendikbud 2017 12, para ulama tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada raja-raja di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu Menunjukkan peran pedagang Islam dalam memajukan perekonomian sebuah wilayah. Menunjukkan keberhasilan ulama dalam menyebarluaskan agama Islam hingga ke pelosok daerah tanpa adanya perang atau pertumpahan darah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai paham yang sama dengan kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya. Menunjukkan kesuksesan Islam sebagai landasan ideologis dan sistem kepercayaan yang mampu menjaga perdamaian dalam masyarakat. Baca juga Sejarah Hidup Sunan Giri Lahir, Nasab, & Ajaran Dakwah Wali Songo Sejarah Hidup Sunan Gunung Jati Ulama Wali Songo & Sultan Cirebon Sejarah Hidup Sunan Muria Wali Songo Termuda, Putra Sunan Kalijaga Setelah seorang raja bisa diajak memeluk agama Islam, sebagian besar rakyatnya pun akan mengikuti sang raja dengan melakukan hal yang sama. Kepentingan politik muncul lagi ketika raja ingin menambah wilayah kekuasaan sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam. Contoh penyebarluasan Islam oleh raja terjadi pada masa Kesultanan Demak. Kala itu, Sultan Demak mengirimkan pasukan untuk menaklukkan wilayah Jawa bagian barat dan menyebarkan Islam di wilayah juga Sejarah Raden Patah Putra Majapahit Pendiri Kerajaan Islam Demak Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak Penyebab dan Latar Belakang Sejarah Kesultanan Demak Kerajaan Islam Pertama di Jawa Pengaruh Islam di Nusantara dalam Bidang Ekonomi Nusantara dikenal memiliki beragam julukan tentang kekayaan alamnya. Contohnya, Yawadwipa yang berarti Pulau Jelai, istilah untuk menyebut Pulau Jawa dengan kekayaan hasil buminya. Nusantara juga populer dengan julukan kepulauan emas atau perak Argyre karena menjadi salah satu penghasil logam mulia. Kekayaan alam yang melimpah dan wilayah yang luas mendorong sejumlah pedagang Islam dari Cina, India, Arab, dan berbagai belahan dunia lainnya melakukan transaksi dagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Penyebarluasan Islam melalui jalur perdagangan menyebabkan munculnya kota-kota pelabuhan di pantai timur dan barat Sumatera serta pantai utara juga Sejarah Kesultanan Islam Kutai Kartanegara Gabung NKRI Sejarah Kesultanan Gowa Tallo & Masa Kejayaan Sultan Hasanuddin Sejarah Kesultanan Bima Peninggalan Kerajaan & Silsilah Raja-raja Kota pelabuhan perlahan menjadi makin besar dan berubah menjadi perkampungan. Akibatnya, komoditas yang diperlukan untuk menghidupi populasi pun bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sejumlah daerah di Pulau Jawa yang mengekspor hasil bumi dari pedalaman ke wilayah lain di Nusantara. Di antara berbagai kota pelabuhan tersebut, ada pula yang berkembang menjadi wilayah kerajaan seperti yang terjadi di kawasan Banten, Cirebon, Demak, Aceh, Ternate. Kerajaan-kerajaan ini muncul sebagai efek atas tingginya aktivitas ekspor dan penguasaan sumber daya di wilayah juga Sejarah Kesultanan Ternate Kerajaan Islam Tertua di Maluku Utara Sejarah Isi Deklarasi Djuanda Tujuan, Tokoh, Hasil, & Dampaknya Sejarah Awal Kejayaan Kesultanan Banten Era Maulana Hasanuddin - Pendidikan Kontributor FatimatuzzahroPenulis FatimatuzzahroEditor Iswara N Raditya xHqMZ.
  • e4j0imivz9.pages.dev/105
  • e4j0imivz9.pages.dev/553
  • e4j0imivz9.pages.dev/269
  • e4j0imivz9.pages.dev/253
  • e4j0imivz9.pages.dev/360
  • e4j0imivz9.pages.dev/304
  • e4j0imivz9.pages.dev/240
  • e4j0imivz9.pages.dev/78
  • terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara